Saya menukilkan kembali apa yang sudah ditulis di paragraf2 awal tulisan di DhuhaaCoffee yang berjudul Undang Allah Saja (I). Waktu itu tulisan terhenti, sebab ada sesuatu. Berikut kutipannya:
“Kami bermaksud mengundang Ustadz…”, begitu kata seorang kawan.
Beliau ini seorang ustadz sekaligus pimpinan madrasah di salah satu sudut kota/kabupaten Bekasi.
Kawan ini bercerita bahwa madrasahnya “begitu-begitu saja” dalam dua belas terakhir ini. Khususnya ketika dari beliau lulus dari salah satu perguruan tinggi Islam dan memegang tampuk kepemimpinan . Sampe sekarang relatif ga ada perubahan. Untuk itulah beliau datang ke kediaman saya dan meminta agar saya berkenan hadir dalam acara penggalangan dana. Beliau mau mengundang masyarakat dalam satu kegiatan keagamaan.
“Terserah Ustadz, kapan sempatnya. Kami yang menyesuaikan,” begitu katanya, mempersilahkan saya yang menentukan waktu siapnya datang ke madrasah beliau.
Begitulah saya mengawali tulisan tersebut. Bismillah, kali ini saya terusin. Kita finalin di tulisan ini. Karena ini sesuatu yang menarik. Kemampuan seseorang (atau lembaga) disiplin di konsep “mencari Allah dulu”, atau bahkan “mencari Allah saja”, akan membuat dia mandiri, dan mulia. Bahkan tingkat keberhasilannya lebih akurat dan terkadang lebih cepat dibanding ikhtiar mencari bantuan orang lain.
***
Ustadz di atas datang menemui saya bermaksud mengadakan satu acara penggalangan dana untuk madrasahnya.
Alhamdulillah, mengalirlah dialog ini. Mudah-mudahan bermanfaat. Dialognya ga sama persis. Tapi ya kira2 begini dah:
(+) Tadz, sebenernya antum punya kekuatan sendiri loh. Karunia Allah. Engga perlu dulu melibatkan masyarakat di awal. Dengan kekuatan antum saja dan keluarga besar madrasah, udah jadi dah tuh madrasah. Jadi tambah bagus. Bila ke depan ada masyarakat yang mau membantu, itu merupakan kebagusan tersendiri, sebab masyarakatnya juga akan mendapatkan kebaikan. Tapi spiritnya berbeda. Kalau antum bikin acara, dengan tujuan menggalang dana, konsennya di kekuatan orang lain. Tapi kalau antum yang bangun kekuatan di atas kekuatan antum dan keluarga, akan beda.
(-) Kami sudah 12 tahun loh tadz ngelola madrasah itu. Kami ikhlas lillaahi ta’aalaa. Namun madrasah kudu berkembang. Kalo kita ga libatkan masyarakat luas, nanti madrasah ini akan gulung tikar dengan sendirinya.
(+) Gini. Antum dan keluarga kan sudah dikasih amanah madrasah sama Allah. Adukan saja lagi sama Allah bahwa antum butuh pengembangan.
(-) Sudah Ustadz…
(+) Masa…?
(-) Iya, kami-kami sudah tahajjud, sudah sedekah, ya gini-gini aja tuh…
Sampe sini, saya rada kurang percaya. Pertama, kalo sudah serius, istiqamah, terus menerus, di urusan bangun malam, dhuha, ga mungkin ga melesat perkembangannya. Pastilah dia melesat. Ini udah janji-Nya. Ini mesti ga istiqamah, ga terus-terusan, ga sepenuh hati. Namun saya kan ga boleh su-udzdzan. Bisa saja beliau dan keluarganya udah menjalankan amaliyah sunnah, dan karenanya madrasahnya masih “panjang umur”.
(+) Antum terakhir kuliah di mana?
Beliau menyebut satu perguruan tinggi. Dan beliau cerita, alhamdulillah, generasi kedua, setelah ayahnya, bisa sekolah tinggi lantaran berkah adanya madrasah ini. Satu dua bahkan mencicipi kuliah di Mesir. Saya kemudian bilang, nah, itu ga bisa disebut “gini-gini” aja. “Memang cara pandang antum dengan generasi pertama (generasi ayahnya) memang beda. Zamannya juga sudah beda,” gitu saya bilang sama beliau. “Nah, tinggal antum nerusin dah. Nerusin perjuangannya. Nerusin riyadhahnya ayah dan asaatidz terdahulu”.
(-) Itu dia ustadz. Makanya saya mengundang Ustadz…
Bla bla bla. Selanjutnya beliau tetap pada pandangannya, bahwa kedatangan saya akan mengangkat citra, dan bahkan mendatangkan sejumlah dana lewat anjuran sedekah saya. Terus terang, saya risih dengan pencitraan ini. Saya ini bukan siapa-siapa. Sesungguhnya, itu hanya “perasaan” saja. Ga signifikan. Sama saja dengan kedatangan seorang presiden ke satu daerah, ke satu tempat. Jika tidak ada follow-up, sama saja. Malah kadang jadi beban daerah. Sering besar pasak daripada tiang. Cuma menang sohor zaman sekarang buat apa?
(+) Udah. Coba nih jajal resep yang satu ini. Undang Allah saja…
(-) Undang Allah pegimana Pak Ustadz?
(+) Ada berapa murid antum?
(-) Kira-kira 120-an.
(+) Jumlah guru?
(-) 17-an dah, udah termasuk pengurus.
(+) Nah, ramai-ramai dah shalat dhuha. Bilang sama murid-murid, “Datangnya pagian yaaa… Pada bawa kain dan baju koko. Kita shalat dhuha dulu. Kita minta sama Allah, supaya Allah bukain rizki yang banyak buat madrasah kita, ngebagusin madrasah kita, ngasih laboratorium komputer, bahasa, ngecat tembok, betulin atap yang bocor, dan lain-lain rizki”. Gitu, bilang sama anak-anak. Motivasi anak-anak, agar mereka peduli terhadap madrasahnya. Rangsang dlm bentuk pemunculan motivasi doa dan ibadah. Jangan edarkan surat sumbangan ke anak-anak siswa. Apalagi kalau antum sudah menyadari mereka-mereka ini terdiri dari siswa-siswi yang ga mampu. Ga signifikan juga hasilnya.
(-) Gitu ya?
(+) Iya. Katakan juga kepada dewan guru dan staff, “Pada pengen tingkat kesejahteraan meningkat ga? Kalau mau, temani saya dan murid-murid shalat dhuha. Insya Allah rizki meningkat. Ga dari madrasah, dari mana keq. Biar Allah yang bukain”. Akhirnya, jadi seru tuh. 120 siswa, ditambah dengan 17 asaatidz, plus antum dan keluarga antum, berdoa kepada Allah.
Ustadz ini dan keluarganya mendengarkan. Saya bismillah, mudah-mudahan seruan saya ini tidak terdengar sok jago.
Coba shalatnya jangan dua rakaat. Tapi minim-minim 4 rakaat. Sebab kan ada janji Allah. Sesiapa yang shalat dhuha 4 rakaat, akan dicukupkan rizki siangnya. Kalau mau enam, tambah mantab. Sesiapa yang shalat dhuha sampe enam rakaat, akan dicukupkan satu hari penuh.
Kalaunya berdiri sendiri saja sudah luar biasa. Apalagi kalau berdirinya beramai-ramai. Rizkinya, rizki kolektif dan personal. Yakinkan bahwa bukan saja nanti madrasah yang akan bagus, tapi juga orang-orang tua para siswa dan asaatidz itu rizkinya bakal tambah bagus.
Saya lantas bertutur tentang pengalaman seseorang yang berinteraksi dengan shalat dhuha. Dia shalat dhuha dengan satu keyakinan bahwa Allah akan melaksanakan Janji-Nya. Dia shalat 4 rakaat. Kemudian Allah takdirkan dia menerima tamu yang salah alamat. Rumah di sebelah rumahnya mau dijual. Orang ini mencari info tentang rumah itu ke dia. Dia mendapat info bahwa kunci dan harga rumah itu diserahkan ke Fulan. Diduganya, si Fulan tersebut adalah tetangga sebelah rumah, ga taunya bukan. Ditunjukkanlah rumah Fulan tersebut ke calo sebenernya. Alhamdulillah, transaksi jadi hari itu juga. Cash. Rumah seharga 35jt (th. 99), laku terjual. Penjual memberi, pembeli memberi. Totalnya 3,5jt, atau 10% dari jumlah transaksi. Memberi tentu saja kepada yang dititipin rumah. Tapi, yang dititipin ini kemudian berterima kasih kepada kawan yang melaksanakan dhuha tadi. Dana 3,5jt tadi dibagi dua. Sehingga si kawan yang percaya akan kekuatan dhuha dan kebenaran janji Allah ini, kebagian 1.750.000,-. Secara berkelakar diceritakan kawan ini bersuka cita, siapa sangka shalat dhuha 4 rakaat, dibayar Allah 1,75jt. Kalau tiap hari begini, tentu luar biasa, begitu kata orang ini. Dan memang bertahun-tahun kemudian ia jaga dhuha ini, hingga sekarang ini dia sudah menjadi orang kaya di kampungnya. Hidupnya juga makin saleh. Ke Mekkah bisa setahun 2-3x. Memberangkatkan orang saban tahun bisa 10-20 orang. Bahkan konon di awal tahun 2009 ini saja, sudah hampir 40 orang yang diberangkatkan umrah. Padahal tahun belum lagi sampe di ujung Desember. Masya Allah.
Saya menceritakan ini sambil berharap ada motivasi. Bayangkan jika betul-betul satu keluarga madrasah itu berdiri untuk shalat dhuha. Mantab dah!
(-) Insya Allah saya akan coba jajal. Tapi ustadz kalo bisa hadir ya?
Saya terus terang agak gimanaa gitu… koq rasanya susah diberitahu, bahwa saya ga usah hadir, jalankan saja resep ini. Tapi saya harus bersabar, he he he.
(+) Ustadz, udah jalankan saja dengan penuh kepercayaan diri. Supaya ceria, adakan “Ith’aamuth tho’aam”, atau “bagi-bagi makanan”. Ini akan membuat peserta dhuha akan lebih bersemangat. Suruh hadir jam 06.00. Ambil dulu masing-masing secangkir/segelas teh manis dan 1 potong lontong. Kemudian suruh siap-siap ambil wudhu. Seru. Pemandangan ini saja sudah seru. Ga usah bangun tenda. Cukup pake tikar saja. Penuh kesajahaan dan kesederhanaan. Sebab ini bukan perayaan. Ini spiritnya spirit berdoa, ibadah. Spirit riyadhah.
(-) Kalo hujan?
(+) Ya kalo hujan pindah ke lokal.
Saya mengusulkan shalatnya jangan di masjid. Di lapangan madrasah saja. Sekalian jadi SYIAR. Kalo ini dilaksanakan, sudah barang tentu akan menjadi pemandangan tersendiri bagi masyarakat luar. Percayalah, masih banyak masyarakat yang memilih sekolah bukan sabab bangunan fisik. Tapi lebih kepada spirit yang dibawa oleh sekolah itu. Bayangkan saja, siapa coba yang tidak senang anaknya sekolah yang di pagi hari pada ceria sebab pada nge-teh, wudhu, shalat dhuha, dan sarapan bersama….
Mendengar “Sarapan Bersama”, si ustadz tadi langsung motong… he he he. Saya sudah menduga, pastilah timbul pertanyaan-pertanyaan…
(-) Sarapan bersama, Ustadz?
(+) Iya. Kenapa emangnya? Kan datangnya saja dari pagi. Pasti mereka-mereka yang ikutan dhuha belum sarapan. Lontong dan teh manis pertama buat stimulan energi melaksanakan dhuha. Dan kemudian sarapan, setelah dhuha, buat energi kembali melaksanakan aktifitas belajar mengajar.
(-) Ustadz, lontong aja kalau buat anak-anak madrasah mah udah berat, apalagi kalo sarapan? Mereka kudu bawa dong dari rumah? Ini akan jadi beban tambahan…
Saya tersenyum. Udah saya duga. Spirit sedekah, memang selalu diharapkan tumbuh dari “eksternal”. Contohnya, si Ustadz ini datang untuk meminta saya datang di acara penggalangan dana. Padahal barangkali keluarga besar si pemilik madrasah dan yang terkait, jauh lebih makmur ketimbang jamaah sekitar yang diundangnya, he he he. Barangkali. Yah, namanya juga barangkali. Bisa saja salah, hi hi hi. Nah, sekarang, begitu saya sodorkan resep ini, mereka langsung berkernyit. Penyediaan sarapan dia kira harus dari murid.
(+) Ustadz, lebih menarik buat anak-anak dan para asaatidz, jika teh manis dan sarapannya, disediakan oleh antum dan keluarga antum…
(-) Oh gitu, iya dah, ntar dirapatin. Siapa tahu ada jamaah yang mau nyumbang lontong sama sarapannya.
(+) He he he, Ustadz. Udah, saya bilang, pake kekuatan sendiri. Jangan ngegantungin sama jamaah. Dan ga usah pake rapat. Langsung saja diumumkan, eh besok dhuha yaaa… Udah gitu aja. Simpel.
Ustadz ini dan keluarganya, tersenyum…
(+) Tadz, antum kemari naik apa?
(-) Mobil.
Buru-buru dia jawab, bahwa mobil yang dipakai ini punya kantor, he he he. Emangnya mau saya minta apa? Buat sedekah? Belum tentu kan?
(+) Antum ada motor?
(-) Ada.
(+) Udah lunas, apa masih kredit?
(-) Udah lunas.
Ustadz ini jawab sambil ketawa. Dia udah nebak pertanyaan atau kalimat saya selanjutnya.
(+) Kalo udah lunas, udah ada BPKB nya dong…?
(-) He he he, iya Ustadz. Udah ada.
(+) Nah, itu motor jual saja. Uangnya buat menyelenggarakan majelis dhuha di madrasah antum. Berapa duit tuh motor kalo dijual?
(-) 7jt aja mah cepet.
(+) Ok, itu bisa buat sepekan dhuha tuh.
(-) Maksudnya?
(+) Iya, bikinnya jangan sehari. Masa dhuha nya hanya sehari. Itu namanya bukan riyadhah yang sungguh-sungguh. Bikin sepekan dhuha. Gitu. Satu kali dhuha bisa kita hitung. Anggap aja secangkir teh manis, 200 perak. 200 perak dikali 150 peserta, 30rb. Lontong; 1 lontong 1000, dikali 150 = 150rb. Baru 180rb. Sarapannya dah. Hitung nasi uduk aja dah biar gampang. 1 bungkus nasi uduk 3rb. Dikali 150 = 450rb. Total sekali penyelenggaraan 630rb. Atau 700rb dah, genepin. Variasiin. Sama kacang hijau, nasi ulam, ketupat sayur, lontong cap gomeh,atau apa sajalah. Biar tambah menarik. 700rb per sekali penyelenggaraan, kalau uang antum ada 7jt, maka itu bisa 10 harian bikin majelis dhuha. Subhaanallaaah tuh!
Atau ya cukup bikin sepekan dulu. Nanti di akhir pekannya, mabit. Di mabit bikin yang lebih istimewa lagi; bikin panggangan ayam, panggangan ikan, atau nasi liwet. Manteb dah.
Saya ceritakan kepada dia, bisa jadi dengan cara begini, orang-orang tua murid dan masyarakat akan tertarik untuk urunan tanpa perlu ngasih surat edaran. Saya juga memotivasi dia, bahwa fisik madrasah yang jelek, akan tertutup dengan banyaknya kegiatan. Apabila majelis dhuha itu sudah rutin, ditambah mabit juga rutin, bisa disisipkan menjadi Pengajian Besar saba minggunya. Undang penjual-penjual produk ini dan itu untuk jualan ini dan itu. Sebab di Pengajian Mingguannya, wali murid dan masyarakat akan datang. Dan sekali lagi, ini bukan hajatan. Ini udah merupakan kegiatan biasa. Ga perlu proposal kegiatan yang jadinya malah jadi cost. Ini sudah jadi profit. Profit yang bersifat brand, maupun profit yang berupa cash money. Masya Allah.
(+) Ustadz, tahu ga? Kalau dhuha sudah rutin, maka sebenernya madrasah ustadz udah ditingkatkan statusnya oleh Allah. Bukan oleh Depag loh… ditingkatkan gimana? Ditingkatkan menjadi ma’had. Menjadi pesantren. Jalanin dah. Sederhana koq. Percayalah, ustadz hanya perlu modalin di awal, dan menyeru di awal. Selebihnya, sudah jalan dengan sendirinya. Insya Allah. Daarul Qur’an bermula dari kegiatan yang begini ini. Nanti ada dah jamaah yang nyumbang beras, nyumbang daun pisang, nyumbang kelapa, nyumbang keperluan-keperluan logistik, hingga kemudian ke urusan finansial dan fisik madrasah. Dan saat itu datang, ustadz akan menyaksikan, ustadz sama sekali ga keluar proposal… sebab apa, ustadz sudah langsung mengundang Allah. Nanti Allah yang akan mengirimkan Pasukan-Nya, dan men ggerakan hamba-hamba-Nya untuk mengaturkan tempat dan kedatangan-Nya. Masya Allah.
Saudara-saudaraku penikmat Kopi Dhuha, pembicaraan terus berkembang, dan ide-ide semakin keluar. Namun harus saya tahan dulu. Sebab sekarang saya sudah harus siap-siap Jum’atan. Sekarang ini saya sedang berada di kalimantan Selatan. Hari ini, Jum’at, 13 Maret 2009, saya ada di kalimantan Selatan. Insya Allah mudah-mudahan kita teruskan di edisi DhuhaaCoffee berikutnya. Amin. Makasih ya.
Khusus kepada ustadz dan keluarga madrasah yang saya ga bisa sebutkan namanya sebab satu dan dua hal, terima kasih. Saya doakan semoga obrolan ringan kita bisa dijalankan sama ustadz, dan kemudian biarlah Keajaiban Allah yang terjadi di sana. Kita Undang Allah Saja, selebihnya, biarkan Allah Yang Bekerja…
Buat pembaca kajian dhuha ini, tolong saya minta komentar, kritikan, dan sarannya, atau bahkan artikel pendukung; baik kajian pendukungnya berupa ayat dan hadits, atau sekedar sharing pengalaman. Saya tunggu.
Sumber: http://www.wisatahati.com/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=97
updated : 2009-03-18
Jumat, 25 September 2009
Undang Allah Saja-3
Posted by
Harry Anggono
Labels:
Agama Islam