Jumat, 25 September 2009

Undang Allah Saja-5

Dalam konsep membangun masjid pun sama dengan mengembangkan madrasahnya ustadz kemaren. Kalau pola pikir “mengundang Allah saja” tidak dominan, maka yang terjadi adalah penyebaran proposal. Proposal bakal ditebar bukan dengan tujuan mengajak orang bersedekah. Tetapi lebih kepada pengumpulan uang. Proposal akan bertebaran kemana-mana. Kadang cara-caranya sudah melompati kesantunan.

Seringkali panitia pembangunan masjid adalah bukan orang-orang yang ada di masjid. Mereka jauh dari masjid. Bukan saja karena dia jarang shalat di masjid di komplek atau di kampungnya dia, di tempat kerja atau usahanya pun jarang di masjid. Yang kayak begini ini jadi aneh bila kedapetan amanah membangun masjid. Bisa sih barangkali, dengan kapital atau dengan relasi yang dimiliki. Tapi akan sepi dari ruh jihad, sepi dari spirit, sepi dari makna. Wah, saya koq jadi su-udzdzan ya?

Tidak sedikit loh saya didatangi kawan-kawan panitia pembangunan masjid. Mereka kepengen mengadakan penggalangan dana untuk pembangunan masjid. Atau sekedar renovasi masjid; ngedak lantai dua, pasang menara, dan lain-lain sebagainya.

Terkadang suka timbul juteknya saya. Saya sering ngomel-ngomel ga keruan malah di depan jamaah. Dan ini malah ga bagus. Ketika saya datang, ternyata yang mau dibangun, ga urgent. Maka kemudian saya bicara dari sisi pemanfaatan. Saya bersemangat sekali mengatakan bahwa kenapa tidak diarahkan ke pembangunan unit pendidikan, sebagai sayap pemakmuran masjid? Kenapa tidak difokuskan ke beasiswa bagi anak-anak kampung sekitar masjid, dan dicukupkan masjid apa adanya, dijauhkan dari kemewahan dan bermegah-megahan tanpa jamaah? Biarlah kalau mau diperbagus, maka yang membaguskan adalah anak-anak yang dibiayai, 10-15 tahun kemudian. Toh pembangunan masjid pun kadang memakan waktu bertahun-tahun juga. Kadang urusannya sekedar mempercantik masjid; ganti keramik, ganti karpet, pasang granit di sekeliling, bikin mimbar yang ga keruan guedenya, dan lain-lain. Saya senang masjid-masjid yang bagus. Tentu saja. Melambangkan kemajuan peradaban arsitektur kemasjidan. Tapi tentu saja adalah kewajibannya lebih di kemakmurannya. Senang sekali jika ada masjid yang bagus, dan kemudian bagus juga aktifitasnya.

Yang terjadi kan tidak demikian. Membangun bisa, eh, memanusiakan merbotnya engga bisa. Membaguskan masjid bisa, eh mensejahterakan pengurusnya, imam-imamnya, tidak bisa. Masjid bagusnya kayak apa tahu, eh perlakuan terhadap para khotibnya, payah betul. Masjid malah kemudian menjadi beban masyarakat. Tidak sedikit bahkan masjid-masjid daerah menjadi beban APBD saking besarnya biaya operasional.

Masjid-masjid menjadi kekuatan islam; di sana ada pusat perbankannya, pusat perbelanjaannya, pusat jajanan pasar dan ekonomi mikro, ada pasar tradisionalnya, ada unsur entertainment dan pariwisatanya. Ga mimpi ah bisa ada masjid seperti Putera Jaya nya Malaysia.

Alhamdulillah, di Indonesia, masjid-masjid model Istiqlal, al Azhar, at Tin, Sunda Kelapa, Pondok Indah, Cut Mutia, Masjid Astra, dan masih banyak lagi masjid di kota Jakarta ini (dan beberapa di kota besar) sudah cukup mewakili masjid yang ideal. Insya Allah generasi berikutnya nanti bisa meneruskan warisan orang-orang tua.

***

Baik, kembali kepada ruh tulisan ini: Undang Allah Saja. Kasus serupa saya contohkan, ada di pembangunan masjid. Jika kemaren berturut-turut diceritakan tentang madrasah, ini tentang masjid.

Kepanitiaan dibentuk. Spiritnya bagus, di antaranya mendorong masyarakat untuk sama-sama membangun masjidnya Allah. Ini dahsyat sekali. Tapi, bagi saya, ini tetap saja: mencari dana dari manusia.

Nah, nah, nah, ada yang beda sedikit nih. Jika pada kasus ini, penggalian dana dari masyarakat semangatnya adalah menyeru kepada kebaikan; sedekah untuk madrasah, sedekah untuk masjid; maka ini cakep sekali.

Tapi spirit ini seakan jadi absurd, sebab kepanitiaan itu sendiri tidak melambangkan spirit ajakannya.

Saya mencoba menawarkan sesuatu yang lain.

Begitu ada yang datang, dengan satu niatan yang sama seperti ustadz yang mengundang saya untuk madrasah, saya tawarkan cara yang sama! Sungguh, saya ngeri bertutur ini, sebab banyak juga yang tidak senang dengan pemikiran saya.

“Gimana kalo pengurus beriyadhah saja?”

“Riyadhah kami ikutin Tadz. Tapi kalo berkenan Ustadz juga hadir lah di penggalangan dana. Ini kan syiar juga? Masa ustadz ga mau berdakwah mengajak orang kepada kebaikan?”

Nah, repot kan?

“Gini, saya tawarkan kemudahan. Toh yang saya sampaikan juga adalah dakwah. Jika saya mendakwahi ini, dan ini dijalankan, insya Allah akan datang pertolongan Allah jauh lebih cepat dari ikhtiar kita. Dan ini pun dakwah juga. Semua ada di dalam koridor dakwah”.

Saya kemudian menceritakan satu cerita tentang satu masjid yang 17 panitia nya mengundang satu ustadz senior. 17 orang ini melaporkan bahwa sebagai pemrakarsa, penggagas, dan panitia, mereka mengawali bersedekah dan berkorban demi pembangunan masjid ini. Para pengurus masing-masing menyumbang 1jt. Terkumpullah dana 17jt. Mereka meminta ustadz senior ini memberikan pengarahan lebih lanjut. Mereka mau menggunakan sebagian dana ini untuk sewa tenda, sewa kursi, sewa soundsystem, snack, dan tetek bengek lainnya yang dibutuhkan untuk satu acara keagamaan. Di acara ini akan ditumpangi satu lelang amal.

Di luar dugaan, ustadz senior ini malah meminta dana itu jika ada. Katanya, kita pakai saja membantu masjid lain yang sedang dibantu. Biar Allah bantuin masjid yang akan kita bangun.

Suasana rapat konon riuh. Sebagian mengerti, tapi sebagiannya tetap “tidak mengerti” jalan pikiran ustadz senior ini. Mereka sudah menunjukkan budi yang luar biasa; mengawali sedekah dari kantong mereka sendiri. Dan mereka berkenan membangun masjid itu dengan jiwa dan raga mereka, di tengah kesibukan mereka. Insya Allah.

Ustadz senior ini mengingatkan bahwa di dalam amal saleh juga ada nafsu. Benarkah untuk Allah? Apakah ada di lipatan hari yang tersembunyi satu niatan lain yang tidak terkatakan; masa di komplek mereka belom ada masjid? Masa mereka kaya, tapi ga bisa bangun masjid? Masa ada orang-orang yang pintar, yaitu mereka, tapi masjid tidak ada? Ada pejabat di komplek ini, dan so far berhasil mendapatkan fasos fasum dari pengembang, kenapa tidak diselesaikan? Apakah bisa terpelihara dari rasa riya’, kelak dengan mengatakan bahwa di periode kepemimpinan 17 lah masjid ini bisa berdiri? Kami wariskan kepada anak cucu kami semua dan warga kampung agar meneruskan masjid ini? Padahal hanya berawal dari 1jt dikali 17 orang? Bukankah Allah Maha Kaya?

Pertemuan itu malah menjadi pengajian tauhid yang lagi-lagi tidak dimengerti oleh 17 panitia tersebut. Syahwat mereka tidak tersalurkan. Terlebih dengan adanya vote, bahwa mayoritas setuju – meski dengan terpaksa – menyerahkan dana itu kepada ustadz seniornya mereka. Pasrah, mereka sudah ikhlas-ikhlas, eh malah dibawa pergi.

Ustadz tadi malah tambah “tega” dengan mengatakan, bila ada yang berniat sedekah, maka sama saja kan bersedekah ke masjidnya orang lain, dan ke masjid sendiri? Jika masjid sendiri tidak diakui sebagai masjid sendiri, dan masjid orang lain dibantu sepenuh hati bagaikan membangun masjid sendiri , adalah sama saja? Lalu, di mana problemnya?

Wuah, tambah ga mengerti.

Waba’du bener-bener diserahkan, dan bener-bener dibawa itu uang.

Sampe malam itu, bayangan akan terbangun masjid, hilang sudah. Bahwa rizki di tangan Allah, ga ada sama sekali bayangan, bahwa di atas tanah kosong, Allah dengan Kuasa-Nya tetap akan membangunkan. Bahkan buat Allah, DIA tidak memerlukan proposal manusia yang diedarkan satu pintu ke pintu yang lain.

Ustadz senior ini hanya berpesan; kekuatan dan kebersihan niat, dan kesungguhan berikhtiar, akan melahirkan banyak keajaiban.

Ini pun masih diprotes. “Bukankah kami-kami ini juga bersungguh-sungguh juga mendorong masyarakat untuk sama-sama menyumbang?”.

Tapi protes tinggal protes. Uang sudah dibawa ustadz tersebut.

Menurut si empunya cerita yang bertestimoni kekuatan sedekah, selang dua minggu memang menetas keajaiban-Nya.

Ada seorang pengendara mobil masuk ke komplek tersebut. Membawa mobil jelek. Mogok. Karena itu ia masukkan ke dalam komplek itu sedikit. Sekedar menjauhkan diri dari jalan raya.

Salah satu panitia yang 17, melihat dan membantu.

Masuklah saat zuhur.

“Ada masjid Pak?”

Dia ini mau cerita panjang. Bahwa di komplek ini udah ada tanah siap bangun. Udah terkumpul pula dana awal 17 juta. Sudah mau diselenggarakan juga acara amal. Tapi bubar. Dan mimpi membangun masjid, menjadi musnah. Setidaknya, saat ini tidak tahulah apa yang musti dilakukan, dan darimana lagi harus memulai.

Tapi kemudian dia urungkan niatnya menceritakan hal ini kepada orang baru yang masuk di kompleknya ini tanpa sengaja.

“Belum ada masjid, Pak”, begitu akhirnya dia menjawab datar.

Kemudian mereka berdua shalat di rumah salah satu panitia 17 ini. Kemudian pamitan.

Saat pamitan, orang ini memberi kartu nama. Tertera di sana, CV kecil, tanpa embel-embel usaha apa. “Pak, nanti kalo bisa, Bapak main ya ke rumah saya…”. Begitu katanya tanpa memberi informasi mau ngapain nyuruh datangnya. Akalnya hanya mampu mengatakan bahwa barangkali mau tukeran jamuan makan siang, dan terima kasih udah membantu betulin mobilnya yang mogok.

Ternyata, tamu itu digerakkan Allah untuk membantu mewujudkan masjid itu. Ketika satu panitia ini datang, dia menerima cek tunai awal sebesar 200jt. “Bangunlah dulu Pak dengan uang ini. Insya Allah nanti saya tambahin. Sampe selesai. Jangan sampe ada komplek muslim ga ada masjidnya…”

Subhaanallaah…

***

Sampe sini, apa yang kawan-kawan DhuhaaCoffee rasakan…?

Kita sambung besok ya. Thanks. Jazaakallaah. Saya banyak mengenang pembangunan pondok dengan cara-cara yang Allah dan Rasul-Nya ajarkan. Mencari bantuan dengan mengundang Allah… See you.
updated : 2009-03-20
Sumber http://www.wisatahati.com/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=97