… Tetamu yang ingin mengundang saya ceramah masih mendengarkan kisah panitia 17 ini dengan seksama.
“Hebat ya Ustadz…”.
“Apanya yang hebat…?”
“Sedekah. Dia bahkan berlaku bukan saja di urusan personal. Tapi juga di urusan lembaga”.
Betul. Tapi bukan tentang kekuatan sedekah tujuan pengisahannya. Tapi di urusan menggunakan kekuatan Allah. Mengenai cara, banyak hal, banyak pintu. Sedekah adalah di antaranya.
Panitia 17 bermaksud melibatkan orang banyak untuk menggalang kekuatan untuk terbangunnya masjid itu. kemudian ada urusan yang digampangkan Allah sebab ada satu dua hal yang mereka lakukan. Pertama, mereka punya niatan baik. Dan ini saja sudah luar biasa. Kedua, mereka juga berderma untuk masjid yang akan dibangun. Mereka bukan hanya menyeru, tapi juga melakukan dengan mengawali. Berikutnya, mereka pun menyediakan dirinya untuk berletih-letih, berlelah-lelah, mendorong masyarakat untuk terlibat di dalam pembangunan.
Kemudian Allah mempermudah langkah mereka. Ketika kemudian konsentrasi mereka, dialihkan sejenak ke Allah, luar biasa. Allah hadirkan satu orang yang membantu 200 juta dan menjanjikan akan menyelesaikan sampai sempurna.
Peran masyarakat menjadi ga ada dong?
Oh, tetap. Masyarakat kan tetap dilibatkan. Itu kan kesejatian dakwah. Tapi ketika cerita ini kemudian bermulut-mulut jalannya, ia menjadi inspirasi banyak hal.
Saya katakan kepada tamu saya: “Mengapa sekarang banyak masjid punya hutang material? Bahkan sampe diumumkan segala ke jamaah? Beda sekali dengan beberapa dasawarsa yang silam, di mana masjid tidak ada terdengar hutang?”
Jawabannya adalah selain kesederhanaan; kalo ada ya membangun, kalo tidak ada ya tidak membangun. Kalo pun pengen membangun, maka pelibatan masyarakat, sesuai dengan kapasitas masjid yang dibutuhkan. Tidak berlebihan. Sehingga kesannya sekali jalan, selesai. Tidak seperti sekarang ini, yang membangun masjid, bermilyar-milyar rupiah. Ga terjangkau dengan patungan sekian tahun seluruh isi kampung.
Penyebab lainnya? Tidak mengundang Allah datang.
Coba panitia sama-sama memenuhi masjid. Dengan keluarganya. Terus-terusan menyelenggarakan pengajian demi pengajian. Panas kepanasan, hujan kehujanan, angin keanginan. Terus saja. Hingga kemudian Allah tidak tega melihat kita-kita orang, kemudian menyelesaikan masjid itu hingga menjadi masjid yang nyaman.
Pernah kah terpikir oleh seluruh panitia pembangunan masjid, untuk menetapkan riyadhah? Dijajal saban sabtu dan minggu dhuha bersama? Dijajal selama 3 sabtu minggu, 7 sabtu minggu, 14 sabtu minggu, 21 sabtu minggu, 40 sabtu minggu? Ditembusin di 12 rakaat? Bersama seluruh keluarga masing-masing? Berdoa bukan hanya untuk masjid yang sedang dihajatkan, tapi juga untuk hajat masing-masing? Berdoa langsung di atas masjid yang lagi mau didak dua lantai? Berdoa bersama langsung di atas masjid yang sebentar lagi akan dibongkar dan dipugar?
Pernahkah terpikir untuk mengundang Allah datang? Dengan bersabar sedikit melakukan rangkaian shalat malam? Di tiap malam? 3 malam, 7 malam, 14 malam, 21 malam, 40 malam? Berharap ada ridha Allah yang nanti seusai riyadhah?
Memang akan lebih lama. Tapi sesungguhnya perjalanan nantinya akan jauh lebih singkat. Allah akan hadirkan cara-cara yang tidak diduga sebelumnya.
Pernahkah kemudian berpikir bahwa Allah akan bertanya? Wahai manusia, kalian mengajukan permohonan masjid akan diperluas? Bukankah satu keanehan, bahwa orang-orang yang memakmurkan masjidnya demikian sedikit?
Wahai manusia, kalian tidak melakukan kegiatan apapun di masjid-Ku, kecuali kalian memenuhinya di saat Jum’atan saja?
Tentu saja Allah tidak bertanya demikian. Kitanya saja yang berpikir. Kalaunya masjid yang mau dipugar dan dibangun dengan alasan shalat Jum’at udah ga nampung lagi, atau bahkan yang konyolnya, ga bisa nampung lagi kalau shalat ‘ied, rasanya terlalu berlebihan membangun masjid dengan anggaran sekian M.
Kalau hanya dipakai sejum’at sekali, secara canda, Allah beri saja kita rizki untuk sewa tenda, tiker, dan soundsystem. Ini ga akan lebih dari 4 juta sebulan, atau 1jt untuk setiap kali penyelenggaraan shalat Jum’at. Bahkan barangkali jauh lebih hemat dari itu. Kalaunya tukang tenda tahu itu akan dipakai shalat Jum’at, masa iya dia tega mungut bayaran? Kalaunya penyedia jasa sewaan soundsystem tahu itu buat Jum’atan, masa iya tega nerima sewaan? Cost-money nya jauh lebih murah, he he he. Bahkan bisa diangggarkan langsung untuk 1 tahun.
Di sinilah disebut seni nya “mengundang Allah”. Mengundang bukan saja dengan rangkaian doa-doa dari lisan kita, namun dari manifestasi gerak dan pikiran kita.
Penuhi masjid dengan berbagai kegiatan, hingga Allah “yang merasa perlu” membesarkan masjid-Nya. Saatnya nanti memang perlu diperbesar, dan terbentuk panitia, maka itulah ibadah yang adil. Ibadah yang menentramkan. Ibadah yang bukan berasal dari syahwat. Tapi dari kebutuhan dan rasa cinta kepada Allah, salah satu jalannya adalah dengan memakmurkan masjid.
Di satu komplek, saya pernah mendapati penghuninya sangat tidak masalah shalat di bawah tenda, bergelar tikar. Saya pernah mengimami shalat tarawih di sana. Subhaanallaah, ridho-ridho. Kegiatan pun tetap berjalan. Hingga kemudian Allah takdirkan pembangunan dimulai, dan terus berlangsung itu pembangunan hingga usai, tanpa masalah.
Itulah sebab, ketika ada rombongan kepanitiaan pembangunan masjid dan madrasah datang, untuk tujuan penggalangan dana, saya malah mengajak mereka semua beriyadhah. Minimal, bikinlah kegiatan yang buanyak di masjid atau di madrasah tersebut. Tidak jarang terhadap panitia masjid yang datang pun saya minta untuk membangun, mendirikan, dan mengembangkan majelis dhuha. Semakin banyak kegiatan di masjid tersebut, di madrasah tersebut, insya Allah, secara naturalnya Allah yang akan membangun dan membaguskannya. updated : 2009-03-21
Sumber : http://www.wisatahati.com/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=97
Jumat, 25 September 2009
Undang Allah Saja-6
Posted by
Harry Anggono
Labels:
Agama Islam